Di dalam bulan abu-abu wajahku merindumu

Setelah sekian purnama, wajahmu kembali membayang.

Kau berada diantara mega dan rembulan merah jambu. Senyum mu mengembang, menjelajah lautan angkasa. Tanganmu membelai jajaran awan putih yang menggantung disana.
Kau merindukan bumi, Sayang?

Menunduklah sejenak. Aku sedang menari di depan api unggun. Dengan gendang yang bertalu, ku jentikkan jemariku. Mendongakkan kepalaku sesekali sambil mencuri wajahmu diantara mega dan rembulan merah jambu. 

Gelang kakiku gemerincing menjejak bumi. Tidakkah kau mendengarnya? Ini adalah suara indah kala kita menari bersama. 

Ku ingat, kau memasang gelang kaki dan menuntun tanganku untuk menari. Pinggul kita bersentuhan. Tawa terderai. Lepas. Selendang hijau tua itu kau kalungkan di leherku. Kau tarik kuat, dan aku pun jatuh d pelukanmu. 
Ingatkah kau, Sayang?

Di bawah matahari sore kau menggendongku menyusuri sungai kecil berwarna biru. Kau sematkan bunga bakung di antara kepang rambutku. Bibirmu berwarna oranye kala itu. Dan aku tidak bisa menahan diri untuk tak melumatnya. 
Ingatkah kau, Sayang?

Di bawah langit hitam dan hujan deras, kau berlari jauh di depanku. Berhenti di atas rumput basah dan melambaikan tanganmu. Senyum mu terkembang, saat ku berlari untuk memelukmu. Kau katakan, “Aku seperti berdiri di depan perapian.” 
Jangan lupakan kenangan itu, Sayang. Jika kau merindukanku, menunduklah sejenak. Tepiskan mega dan jatuhkan warna merah jambu dari rembulan di depanmu. Aku ada di dalam pucatnya rembulan abu-abu. Dekatkan wajahmu,  pandanglah aku. Di dalam bulan abu-abu wajahku merindumu.  

Tinggalkan komentar